Thursday, September 30, 2010

5 Dibunuh DI Selatan Thailand

myMetro

5 dibunuh di selatan Thailand

2010/09/29

Menurut polis, sekurang-kurangnya lima lelaki bersenjata yang menaiki trak melepaskan tembakan terhadap penduduk kampung dan peniaga buah-buahan di Pattani, menyebabkan empat lelaki dan seorang wanita terbunuh awal pagi semalam.


Penyerang turut membakar trak milik seorang mangsa sebelum meninggalkan tempat kejadian.


Tiga mangsa berkenaan beragama Islam dan dua Buddha.


Tiga orang, termasuk seorang kanak-kanak perempuan berusia 10 tahun cedera dalam kejadian itu.


Lebih 4,100 orang terbunuh sejak keganasan meletus di selatan Thai enam tahun lalu.


Penduduk Islam di wilayah itu sudah sekian lama mendakwa ditindas oleh kerajaan pusat yang dikuasai penganut Buddha. - AFP


Hubungi bahagian pengiklanan kami untuk tujuan pengiklanan dan tajaan di dalam Harian Metro Online .
© Hak cipta terpelihara The New Straits Times Press (M) Berhad

Wednesday, September 29, 2010

PERINGATAN 6 TAHUN TRAGEDI TAK BAI, NARATHIWAT, THAILAND SELATAN (1)


oleh Patani Fakta Dan Opini

pada pada 30hb September 2010 pukul 4.56 pagi

Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (1)

Disusun Oleh: Ben (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) & di edit oleh AMANI

MOTTO

Right Of Self Determination:

“hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini diduduki asing.

Alasan anda benar. Keinginan anda pasti terwujud. Insya Allah’’

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan tulisan ini untuk kedua orang tua ku yang selalu ku sayangi, ku kasihi, kupuja dengan segenap jiwa dan perasaan ku. Segala pengorbanan dan ketulusan senantiasa terukir indah dalam kasih mereka, tanpanya ku lelah, tanpanya ku seakan kehilangan pelita yang hadir berikan cahaya kehidupan atas roh ku. Dan aku ingin ungkapkan “aku memujai mu Ibu-ku (tanah air) dan aku memujaimu bapak-ku (bangsa)”.

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan

A.Latar Belakang Masalah

2. Tragedi Tak Bai

A. Faktor dan Peristiwa

B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional

C. Pandangan Domestik Terhadap Tragedi Tak Bai

1. Tanggapan Pemerintah

2. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam

3. Tanggapan Tokoh Akademik - Politik

4. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai

3. Pasca Tragedi Tak Bai

A. Pasca Tragedi Tak Bai,

1. Kebijakan Pemeritah

2. Daftar Hitam Warga Muslim

3. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand

B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’

C. Eksodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan

1. Penyebab

2. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi

3. Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Muslim Melayu dari Thailand Selatan

4.Kesimpulan

1.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam realiti kehidupan masyarakat muslim sebagai golongan minoriti, maupun majoriti baik di Barat maupun di Asia Tenggara selalu dipandang sebagai masalah.

Sekolompok majoriti akan selalu menindas minoriti. Tampaknya telah menjadi sebuah hukum alam. Walaupun asumsi di atas, masih harus dipertanyakan kebenaran. Tapi, pada kenyataannya kondisi tersebut sesuai dengan realiti yang ada. Seperti yang dialami masyarakat Patani. Patani sebuah wilayah yang terletak di Thailand Selatan. Dengan majoriti penduduknya beragama Islam mengalami tekanan-tekanan agar menerapkan beberapa kebijakan yang disodorkan pemerintah.

Dalam hal ini pemerintah yang ada di Thailand didominasi oleh agama Buhda. Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil dilandasi dengan sentiment keagamaan Thailand yang majoriti penduduk beragama Budha berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat Patani dan menjauhkan mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.

Di wilayah perbatasan Thailand Selatan sendiri tercatat pernah terjadi pemberontakan bersenjata, beragam faksi perlawanan Patani. Setelah sempat padam tahun 1990-an, aktiviti perlawanan Patani mulai muncul kembali awal tahun 2004. Apa yang terjadi di Thailand Selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak.

Bahwa pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang kemudian dirampas Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai bagian dari Thailand (Maruli Tobing, Kompas, 8 Desember 2004).

Dalam perspektif demikian, lambatnya pembangunan di wilayah selatan dilihat sebagai diskriminasi terhadap rakyat keturunan Melayu. Diskriminasi yang selalu melekat dalam struktur penjajahan. Termasuk dalam kesempatan kerja di pemerintahan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Situasi demikian jelas rawan dan meledak (explosive). Pemerintah Thailand meresponsnya seperti halnya penjajah terhadap rakyat jajahan. Bahwa wilayah Thailand selatan dulu merupakan kesultanan merdeka bernama Patani Darussalam sebelum Bangkok menguasainya seabad lalu. Penduduk di perbatasan memiliki kebudayaan dan agama sama dengan Malaysia. Perang gerila untuk memperoleh kemerdekaan di Thailand Selatan berlangusng tahun 1970-an dan 1980-an.

Majoriti warga di tiga provinsi Patani, Yala dan Narathiwat, adalah warga Muslim keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa. Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut bersaing (competition) dalam arena politik nasional.

Di Thailand Selatan terdapat minoriti Muslim yang pada masa yang lalu kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat (Sutopo A.R. Soesastro Hadi, 1981, 387). Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktiviti pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera dibenahi.

Thailand Selatan tetap seperti beberapa dekad silam. Dalam hal ini, persoalannya bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti persepsi pada Thailand Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. Persepsi inilah yang menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan. Situasi demikian menyebabkan rakyat terpisah (alienation) (a) terpencil dan tidak merasa bagian dari Thailand.

Kesan bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa agama Buddha Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap bagian Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil. Dari perspektif Bangkok hingga saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan dalam akhbar-akhbar dan media Thailand.

Apa yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan kecurigaan yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan terorisme yang diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan penangkapan sejumlah Muslim Thai yang dicurigai sebagai anggota Jemaah Islamiah (JI) di Thailand. Kaum Melayu Patani yakin bahwa pemerintah dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang atas agama mereka dan sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok mengorbankan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington (Masri Maris, 2005, 216).

Tak Bai adalah kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional setelah terjadi pembantaian demontrasi pada 25 Oktober 2004. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia.

Pasca tragedi kemanusiaan di Tak Bai, Narathiwat, yang menelan korban nyawa sekitar 80an demonstran, ada beragam pandangan terhadap kepemimpinan Pemerintahan Thailand, baik pandangan politik domestik setempat maupun kritikan internasional karena dianggap menempuh cara-cara menahan dan menindas (repressive) dalam menghadapi demonstrasi warganya.

Tindakan menahan dan menindas (repressive) pemerintah Thailand terhadap demonstrasi Tak Bai di Narathiwat Selatan Thailand merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah Thailand tersebut atas hak-hak masyarakat minoriti Muslim di Thailand Selatan. Tindakan ini juga merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minoriti Muslim Melayu Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan bentuk diskriminasi kepada komuniti masyarakat etnis Melayu yang manoriti Muslim. Karena penduduk Muslim setempat tersebut merupakan bagian dari masyarakat minoriti di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan hukum dan perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi pemusnahan.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina (A.Rahman Zainuddin, 1994, xxviii-xxix).

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Islam di Patani sebenar telah mengakar sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang majoriti beragama Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai masyarakat sebangsa. Secara giografis Patani di claim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadirannya dianggap mengganggu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda agama dengan demikian juga beda budaya. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diungkapkan dengan tindakan kekerasan maupun masal.

Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada umumnya terhadap komuniti muslim terjadi karena mereka tidak bisa menerima plurality, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik di provinsi dibagian selatan yang terdiri dari ras melayu itu kemelayuan dan keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientasi kemanusiaan dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis.

Sistem demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter terhadap minoriti Melayu di bagian Selatan Thailand. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Patani bagaikan negara yang aristocracy atau sejenisnya.

Adapun awal perkembangan politik Thailand di Selatan (Patani) berdasarkan pada mendelegitimasikan bangsa Patani dan berusaha melegitimasikan atas haknya. Jadi jelas bahwa Kerajaan Thai bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan hak atas bangsa Patani, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu simbol yang tak dapat dihindarkan.

Jadi, apa yang terjadi pada hari Isnin, 25 Oktober 2004 di depan Balai Polis di Daerah Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk perasaan yang memprotes penangkapan warga Patani Muslim yang oleh polis dan tentera dituduh telah menyediakan senjata untuk gerakan gerilia Patani, sehingga 6 orang mati dibedil, sedangkan 78 warga Patani lainnya mati ketika sekitar 1300 orang dijejalkan ke dalam 6 truk tentera yang tidak cukup mendapakan oksigen untuk bernapas ketika diangkut ketempat penjara yang memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa demontransi hanya sekadar picu, bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada demontransi, pasukan Thailand akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan demontransi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.

Hal-hal di atas inilah yang menjadikan ketertarikan dan keingintahuan penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan dengan judul: “TRAGEDI TAK BAI DI NARATHIWAT, THAILAND SELATAN”.

Akan ada sembungan berikut ke- (2)

(a). Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di gunakan oleh Karl Marx untuk nenunjukan keterasingan menusia yang disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme, sehingga orang tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.

References

A.Rahman Zainuddin, Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.xxviii-xxix.

Maruli Tobing, “Thailand Selatan, dari Konflik Identitas Menuju Benturan Peradaban”, Kompas, 8 Desember 2004.

Masri Maris, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Yayasan Obor Indonesia, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV-Jakarta, 2005, hlm.216.

Sutopo A.R. Soesastro Hadi, Strategi Dan Hubungan Internasional Indonesia Di Kawasan Asia Asia –Pasifik, CSIS: Centre For Strategic And International Studies, Jakarta, 1981, hlm.387

Monday, September 27, 2010

Quietly, US aids Thai terror fight

A storied US agent supports Thailand counter terrorism efforts, but only at arm’s length.
By Patrick Winn - GlobalPost
Published: September 24, 2010 09:59 ET in Asia

Thai soldiers secure the site of a bomb blast believed to be the work of suspected Muslim militants in Thailand's restive south in 2009. (Muhammad Sabri/AFP/Getty Images) Click to enlarge photo

BANGKOK, Thailand — U.S. Agent Randall Bennett built his reputation the hard way. He has survived assassination attempts (at least 12, he says) and dragged suspected terrorists through back alleys in Karachi, Pakistan (at 2 a.m. while being shot at).

Those duck-and-run feats eventually led him to the Pakistanis who beheaded Wall Street Journal reporter Daniel Pearl in 2002. But the agent’s resume runs deeper still. Bennett also led what he calls “Iraq’s third-largest army,” the assemblage of hired soldiers working for contractors such as Blackwater.

Now, at 59 and nearing retirement, Bennett finds himself in Thailand. As the “senior regional security officer,” his post entails protecting United States interests here while also lending expertise to his host nation.

After narrowly surviving his post in Karachi, this leading anti-terror authority would appear perfectly suited to help Thailand with its own insurgency: an Islamic separatist campaign in the tropical Thai-Malay borderlands.

But in Thailand, the seasoned agent must operate on a leash. Both the U.S. and Thailand agree that inserting Americans into the fight could transform Thailand into the terror war’s next international front. Neither country wants to attract global networks supplying cash, weapons and young ideologues willing to die.

“We’re very concerned and very interested,” Bennett said. “But this is an internal insurgency. The U.S. is not going to step into that. If we step into that, we’re inviting transnational global terrorism to provide support. It’s completely the wrong approach.”

The U.S. can never put “boots on the ground” in the Thai-Malay borderlands, Bennett said. But, he said, agents can assist with “equipment, training and advice.”

Though less conspicuous and less sophisticated, Thailand’s insurgency is no less savage than Pakistan’s. A loose network of militants in the three southernmost provinces is fighting to restore a lost Islamic sultanate known as “Pattani,” annexed by Thailand (then Siam) in the early 1900s. They have torched state-run schools, beheaded monks and targeted civilians with remote bombs.

The century-long insurgency reignited in 2004 when separatists seized assault rifles and grenade launchers from an armory, shot troops and went on an arson spree. Since then, the insurgency has led to 4,100 deaths and 7,100 injuries, according to Human Rights Watch.

Bennett’s subdued role in Thailand’s insurgency indicates the pains America has taken to avoid any visible meddling. As insurgency roils in Thailand, he is largely confined to Bangkok, where he assists local police and tracks American fugitives on the lam.

Bennett’s high profile raises the stakes higher. He was personally targeted after helping solve the Pearl case in Karachi. He was also portrayed as a no-nonsense terrorist chaser in “A Mighty Heart,” a film based on the search for Pearl’s kidnappers. (Angelina Jolie starred as Pearl’s widow.)

Bennett has largely assisted the military through regular “anti-terrorism assistance” training to both military and police units. Some sessions have been held in Washington, D.C.

But he has also worked from military facilities in Songkla Province, just a short drive from the bloodiest conflict zones. Visits are conducted with zero fanfare.

“If we go (to Thailand’s deep south), we go down without profile,” Bennett said. “It’s kind of an invisible presence.”

Ties between the U.S. and Thai militaries are close, particularly for an Asian nation. U.S. jet fighters launched from bases in Thailand’s northeast during the Vietnam War. And today, the two nations hold the world’s largest war games, known as Cobra Gold, along Thailand’s mountainous coastline each year.

Not all U.S. authorities, however, are convinced American troops should stay out of the insurgency. A U.S. Naval War College report from 2007 advocates lending Special Forces soldiers to the fight.

“Bangkok has not a moment to lose,” wrote the report’s author, Marine Corps Maj. Nicholas Vavich. “The United States should do all it can to help its ally come up with a strategy to resolve the conflict.”

But despite near-daily killings, Thai authorities have insisted that the insurgency is growing weaker. In February, Thailand’s foreign minister optimistically predicted it could cease this year.

“I tell my soldiers that if they go into villages and people don’t wave, they’ve failed in their mission,” said Lt. Gen. Pichet Wisaijorn, outgoing commander of Thailand’s fourth army, which oversees counterinsurgency strategy.

“Previously, instead of waving, they’d make a gesture of shooting at the soldiers,” he said late last year. “That doesn’t happen anymore.”

A native of the region, Wisaijorn has attempted a “hearts and minds” approach: modernizing farming practices to boost villager incomes and offering free medical treatment through army medics.

Human Rights Watch, Amnesty International and other nongovernmental organizations have accused Thai troops of employing brutal tactics against suspected insurgents. But Wisaijorn said wayward soldiers are given no mercy.

“When I first took my position, there was a low-ranking soldier who slapped a villager. I imprisoned him ... and expelled him,” he said.

Bennett is “philosophically aligned” with this softer approach, he said.

“The world of Islam is a beautiful world,” he said. “The words in the Holy Quran, if you’ve ever read it, are absolute peace and equality and happiness.”

Bennett reserves harsher language for terrorists. He deems them “psychopathic killers” who misinterpret scripture “for personal interests of greed and power.”

“I think we’re currently in World War III,” he said. “And this is not a World War III like we picture in the movies, where there’s 2,000 nuclear missiles going this way and 3,000 missiles going that way.”

Saturday, September 4, 2010

PROGRAM ZIARAH DAN SUMBANGAN KEPADA MANGSA KONFLIK UMAT ISLAM DI SELATAN THAI.




ingin membantu ?

Kami memerlukan BANTUAN PENAJAAN DAN SUMBANGAN untuk :
• bantuan kecemasan dan keperluan mangsa konflik.
• Menggerakkan program-program sokongan kesedaran selamatkan Pattani.
• Dana pendidikan dan biasiswa anak-anak konflik.


Untuk sumbangan dana, sila salurkan atas nama :
Persatuan Ulama' Malaysia Cawangan Pulau Pinang (PUMPP),
nombor akaun Bank Islam : 7043011013136.
(sila maklumkan jumlah sumbangan kepada HOTLINE AMANI 019-4131472 @ amanpattani@yahoo.com selepas kemasukan sumbangan kerana akaun tersebut adalah akaun rasmi PUMPP yang turut digunakan untuk badan-badan lain di bawah PUMPP)

“Tidak akan dikurangi harta dengan sebab bersedekah, Allah tidak menambah keampunan seseorang hamba melainkan seseorang itu ditambahkan dengan kemuliaan. Tidaklah seseorang itu merendah diri kerana mengharapkan keredhaan Allah melainkan akan diangkat darjatnya”.
(Riwayat Muslim)


Wednesday, September 1, 2010

Nasib Umat Islam Patani Tanpa Perhatian Dunia

“Apa yang berlaku di Palestin sebenarnya berlaku di Patani. Sebenarnya tiada bezanya antara nasib umat Islam di kedua wilayah ini, cuma nasib rakyat Patani tidak mendapat perhatian masyarakat antarabangsa”.

“Bangsa kami dizalimi, hak dirampas, para pemuda dihalang mendapatkan pendidikan dan dikenakan tuduhan pengganas, berlaku transmigrasi dengan pemindahan beramai-ramai bangsa Siam ke kawasan penduduk Melayu-Islam. Asimilasi kaum juga berlaku dengan usaha menghilangkan budaya melalui perlembagaan”.

“Terdapat usaha yang kuat daripada pihak kerajaan sendiri bagi menghilangkan identiti Melayu-Islam termasuk memaksa penggunaan bahasa Siam dan melarang kami bertutur bahasa ibunda kami daripada sekolah rendah hingga ke universiti. Sehingga kini di kalangan generasi muda, tidak sampai 30 peratus sahaja yang boleh bercakap Melayu”.

Demikian diluahkan pemimpin Persatuan Mahasiswa Islam Selatan Thai, Ahmad Shah Masood, 25, ketika berceramah dalam program ‘Santai Anak Muda’ di di Lanai Lestari, Gantok, Temerloh Pahang baru-baru ini tepatnya pada 21 April 2010.

Beliau bersama rakan-rakannya Ismail Yusof, Ali Muhammad dan Arif Abdullah dalam road-show bagi menyedarkan masyarakat luar terutamanya Malaysia tentang nasib masyarakat Patani di wilayah bergolak selatan Thailand.

Ahmad Shah memilih Pahang sebagai destinasi pertama kerana menurutnya terdapat pertalian persaudaraan kerana pernah seorang kerabat di raja Patani berkahwin dengan anak raja Pahang.

“Setiap hari berlaku pembunuhan dan perempuan-perempuan dirogol. Ada kisah seorang gadis bernama Norhayati dirogol beramai-ramai oleh tentera Siam kemudian dibunuh. Bila ibu dia lihat, pihak tentera menangkapnya dan diselimutkan lalu dicucuh dengan api, tetapi nasib ibu itu baik dan tidak mati. Daripada situlah dipecahkan cerita kezaliman dan kebuasan pihak tentera,” katanya yang fasih berbahasa Melayu.

Menurut Ahmad Shah, dendam zaman berzaman Siam terhadap masyarakat Melayu-Islam Patani bermula sejak penjajahan Bangkok 1786. Sebelum itu, orang Melayu Patani mempunyai sebuah kerajaan yang besar dan kuat di Tanah Melayu. Selepas penjajahan dan pertelagahan dengan Siam dalam tempoh yang panjang akhirnya termeterai Anglo-Siam Treaty atau Perjanjian Bangkok pada tahun 1909 dengan membahagikan Patani kepada 7 bahagian.

Sejak itu pemerintahan Kesultanan Melayu terhapus. Beberapa orang pejuang Patani seperti Tengku Mahmud Mahyudin dan Haji Sulung berusaha mendapatkan kemerdekaan Patani atau berusaha membawa wilayah tersebut masuk ke Malaysia yang merdeka. Namun kedua-duanya dibunuh oleh tentera Siam pada tahun 1954.

Menurut Ahmad Shah, selepas kematian kedua-dua pemimpin tersebut perjuangan masyarakat Melayu Patani tidak lagi dipimpin pemimpin besar disebabkan wujud banyak kumpulan pejuang-pejuang kecil. Itupun kebanyakannya dibunuh, ditangkap atau dihilangkan terus tanpa diketahui nasib mereka.

Sejak 2004, tekanan kerajaan Thailand terhadap orang Melayu Patani makin hebat iaitu dengan memberi kuasa kepada tentera, polis dan pegawai kerajaan untuk melakukan kezaliman.

Mereka juga ditambat dengan undang-undang tanpa bicara Emergency Degree, Marshall Law dan Akta Keselamatan Dalam Negeri.

Beberapa peristiwa menyayat hati umat Islam Patani ialah tragedi Masjid Krisek 28 April 2004 yang mengorbankan 108 orang Islam, peristiwa berdarah Tak Bai pada 24 Oktober 2004 yang meragut 78 nyawa dan pembunuhan 19 ahli jamaah di Masjid Al-Furqan daerah Cha-Airong, Narathiwat ketika menunaikan sembahyang Isyak pada 8 Jun 2009.

Dendam kesumat dan rasa curiga bangsa Siam terhadap umat Islam Patani tidak pernah padam dan pembunuhan berlaku hampir setiap hari. Sejak 2004 sehingga kini sudah lebih 4,000 yang menemui ajal.

“Namun semua itu tidak pernah menggentarkan hati kami dan perjuangan rakyat Patani tidak pernah berhenti. Jika dulu lelaki yang banyak ditangkap, kini perempuan pula yang terpaksa bangun berdemonstrasi. Kami yang masih belajar ini pula terpaksa berada di barisan hadapan,” jelas Ahmad Shah.

Ahmad Shah berkata, beliau bersama tiga sahabatnya pernah beberapa kali dipenjara dan didera oleh pihak berkuasa Thailand. Mereka juga melihat sendiri pihak tentera menyiksa orang kampung di depan mata mereka. Pada peringkat ini,

Ahmad Shah bersama kumpulannya sedaya upaya mengusahakan hubungan antarabangsa termasuk menemui duta dalam negara Asean, supaya mereka sedar penderitaan umat Islam Patani sama seperti nasib bangsa Moro, Rohingya, Palestin dan Bosnia.

“Kami mahu dunia sedar bahawa kami bangsa yang dilarang bertutur bahasa sendiri. Kami bangsa yang dihalang mengamalkan budaya kami sendiri. Kami bangsa yang disekat daripada menjalankan aktiviti agama kami. Kami mahu dunia sedar ada satu bangsa sudah makin memupus jika tidak diberi perhatian”.

“Kami berikrar tidak akan berhenti berjuang bagi menuntut keadilan dan kedamaian bangsa kami. Kami yakin kejayaan akan datang juga tetapi mengakui terpaksa menempuh pelbagai cabaran. Jadi kami harapkan sekurang-kurangnya secebis doa daripada rakan-rakan seIslam di sini,” katanya penuh bersemangat.

sumber : selamatkanpahang.blogspot.com